Beragam Info Update Tentang Teknologi, Inovasi dan Informatika

Minggu, 12 Oktober 2014

Pesawat Ini Bantu Polisi Tumpas Kejahatan

Persisten Surveillance Systems yang ditunjang 12 kamera.


Perusahaan di Amerika Serikat mengembangkan teknologi pesawat pengintai khusus untuk memerangi kejahatan. Alat tersebut mampu melihat serta merekam daratan dengan area jangkauan hingga 25 mil atau 40 kilometer.

Pesawat berawak tersebut memang sengaja dirancang khusus. Pasalnya selama ini kasus kejahatan yang terjadi di negeri Paman Sam tersebut sering tak ditemukan saksi. Bahkan pelaku menghilang tanpa terlacak.

Sebelumnya, teknologi tersebut digunakan untuk mengintai perang yang terjadi di Irak dan Afghanistan. Namun pihak kepolisian setempat membutuhkannya. Jadilah teknologi tersebut dimanfaatkan polisi Amerika dalam melindungi warganya dari tindak kriminal.

Melansir BBC, Senin 13 Oktober 2014, pesawat berawak khusus itu bernama Persisten Surveillance Systems (PSS) yang ditunjang dengan 12 kamera beresolusi cukup tinggi. Ketika terbang di atas kota, pesawat akan mampu melihat situasi yang terjadi di daratan.

Nantinya PSS akan terkoneksi dengan pusat analisis yang ada di kota tersebut. Pesawat bekerja layaknya Google Earth, untuk mendapatkan rekaman dan datanya.

"Resolusi tinggi ini tidak mampu menunjukkan siapa seseorang tersebut yang diduga pelaku kejahatan karena hanya terlihat pada satu piksel di layar," ujar Ross McNutt, seorang pensiunan Angkatan Udara Amerika yang juga Presiden PSS.

Meskipun objek hanya terlihat pada satu piksel saja, itu sudah menjadi bukti untuk melacak keberadaan tempatnya secara akurat yang diintai oleh PSS. Pesawat ini mampu melayang di udara hingga enam jam lamanya. Selama pengujian, PSS telah mampu menjadi saksi sekitar 34 kasus pembunuhan di daerah Dayton, Ohio, Campton dan New Mexico.

Ancaman Demokrasi

Meskipun PSS sangat bermanfaat bagi pengungkapan kasus kriminal yang terjadi di suatu daerah. Nyatanya teknologi tersebut menjadi kontroversi yang mengancam rubuhnya demokrasi.

Dikatakan, PSS tidak hanya merekam kasus kejahatan yang sedang berlangsung, melainkan bisa melihat juga aktifitas yang sedang dilakukan warganya sehari-hari, seperti di halaman belakang rumahnya.

Desakan warga kepada perusahaan pembuatnya pun tak terhindarkan. Banyak dari mereka yang menolak teknologi tersebut.

"Tidak hanya sistem yang telah melanggar batas privasi orang, namun dapat melacak gerakan seluruh masyarakat yang mampu mengancam bagi demokrasi," ungkap Jennifer Lynch, staf pengacara senior dari Electronic Frontier Foundation.

Lynch melanjutkan, saat polisi menguji teknologi tersebut pada tahun 2012, publik diberitahu terlebih dahulu mengenai keberadaan PSS di sekitarnya.

"Seperti halnya pemantauan rahasia terhadap mahasiswa muslim yang tidak bersalah oleh NYPD pada awal tahun 2012," ucapnya.

Mengenai kontroversi tersebut, McNutt mengatakan PSS dirancang dengan prosedur yang sesuai dengan kebijakan privasi.

"Kami menempatkan kebijakan dan teknologi yang memungkinkan analisa kami melihat kejahatan. Jadi, kami hanya melacak orang-orang yang terlibat kejahatan dan saya melihat para ahli menggunakannya untuk menumpas kasus kejahatan," kata McNutt.


Sumber : viva.co.id

Mirip "Men In Black", Ilmuwan Temukan Cahaya Penghapus Ingatan

Teknik ini dikenal dengan nama Optogenetik.


Mungkin penelitian kali ini memang mirip dengan film tentang Alien yang dibintangi Will Smith. Mereka menemukan cahaya yang bisa menghapus ingatan seseorang.

Teknologi semacam itu akan menjadi kenyataan berkat temuan dari Karl Diesseroth. Ilmuwan yang berasal dari Stanford University ini bisa memanipulasi cahaya dan mempengaruhi sel saraf.

Dia menggunakan cahaya untuk menghapus ingatan tertentu dalam otak. Untuk penelitian ini, mereka mengklaim telah berhasil mengujicoba dengan melibatkan tikus. Teknik ini dikenal dengan nama optogenetik.

"Kami membuktikan kebenaran teori dasar yang menyebutkan adanya bagian berbeda di otak yang bekerja sama untuk menghasilkan memori secara bertahap hingga menjadi satu kesatuan cerita," ujar Brian Wittgen dari UC Davis, seperti dikutip Daily Mail, Senin 13 Oktober 2014.

Optogenetik ini menjadi dasar bagi Wittgen, bersama Kazumasa Tanaka dan beberapa kolega lainnya untuk menyempurnakan proses manipulasi syaraf memori. Teknik ini secara cepat menyebar dan menjadi metode standar untuk menginvestigasi fungsi otak.

Tanaka, Wittgen, dan tim penelitinya mengaplikasikan teknik ini untuk menguji ide lama tentang pemulihan ingatan.

Selama 40 tahun, menurut Wittgen, ahli neurosains telah meyakini jika sebagian memori bisa dipulihkan, baik ingatan tentang tempat maupun peristiwa. Hal ini melibatkan aktivitas yang terkoordinasi antara lapisan luar otak dan hippocampus, atau struktur terkecil yang ada di dalam otak.

"Teorinya adalah mempelajari proses keterlibatan dalam korteks, dan hippocampus mereproduksi pola aktivitas ini saat pemulihan. Ini memungkinkan pasien mengalami kembali peristiwa tertentu dan tidak mengingat yang lainnya," ujar Wittgen.

Jika hippocampus rusak, pasien akan kehilangan banyak ingatan selama berpuluh tahun. Namun, model seperti ini sulit diujicoba secara langsung, hingga kemunculan optogenetik.

Wittgen dan Tanaka menggunakan tikus yang telah dimodifikasi secara genetik dalam penelitian ini. Ketika sel saraf diaktifkan, dua cahaya berwarna hijau memungkinkan sel untuk bertukar posisi.

"Korteks tidak bisa bekerja sendiri. Mereka membutuhkan masukan dari hippocampus. Penelitian ini sekaligus membuktikan asumsi dasar dari teori optogenetik," kata Wittgen.


Sumber : viva.co.id

Revolusi Rumah Pintar Tengah Terjadi di Indonesia


Indonesia ternyata miliki potensi untuk membangunSmart Home buatan negeri sendiri, demikian ungkap sebuah prediksi pasar terbaru.

Konsep Smart Home adalah konsep yang sedang ramai diperbincangkan di mancanegara. Firma Allied Market Research memperkirakan bahwa pasar untuk bangunan rumah atau gedung dengan konsep 'smart' telah mengalami lonjakan nilai mencapai 7 miliar dolar AS.

Angka tersebut diperkirakan akan terus tumbuh menjadi 35,5 miliar dolar AS pada tahun 2020, yang mana merepresentasikan CAGR (Compound Annual Growth Rate) hingga sebesar 29,5 persen.

Pada periode yang sama, wilayah Asia-Pasifik diperkirakan akan mengalami pertumbuhan tertinggi, yakni 37,7 persen..

Di Indonesia, konsep ini masih terhitung baru, khususnya karena masih banyak miskonsepsi yang beredar tentang definisi konsep ini.

SmartHome adalah suatu ide dimana pemilik rumah dapat mengatur semua bagian di rumahnya dengan menggunakan sistem yang terintegrasi ke smartphone atau gadget lainnya.

Faktor keamanan adalah faktor yang paling penting bagi mayoritas konsumen. Hal ini diungkap di survei 2014 State of SmartHome, yang menunjukkan bahwa 90 persen responden tertarik dengan gagasan SmartHome karena fitur keamanannya untuk personal dan keluarga di rumah, seperti dilansir dari keterangan resmi portal properti global Lamudi.

Sejumlah perusahaan, kini mulai mengembangkan produk mereka untuk memenuhi permintaan pasar akan Smarthome. Contohnya Google, yang pada tahun ini merogoh kocek sebesar 3,2 miliar dolar AS untuk membeli Nest Labs.

Apple juga dikabarkan tengah mengembangkan platform pengelola berbagai peralatan di rumah, seperti: lampu, kunci, dan lain sebagainya.

Begitu pula perusahaan seperti Insteon, yang meluncurkan produk yang mengintegrasikan sensor dan teknologi remote control.

Manajer Marketing Lamudi Indonesia, Christiana Joan, mengatakan, “Indonesia adalah negara yang cepat mengadaptasi teknologi, contohnya pemakaian jejaring sosial yang berkembang pesat dibanding negara-negara lain.

Sehingga dapat diharapkan, kita ‘melompat’ dari konsep rumah manual menuju konsep SmartHome lebih cepat dari yang diprediksikan sebelumnya.


Ilmuwan Sulap Getah Pohon jadi Baterai Ponsel


Lebih dari 15 miliar baterai terbuang percuma setiap tahunnya. Dan parahnya, baterai bekas yang digunakan pada ponsel tersebut sulit untuk didaur ulang karena di dalamnya mengandung bahan kimia berbahaya.

Untuk mengantisipasi masalah itu para peneliti dari Swedia mengembangkan sebuah baterai ramah lingkungan yang terbuat dari getah pohon pinus dan benih jerami atau lucerne seeds. Baterai ini diklaim tidak hanya dapat didaur ulang, tapi juga lebih aman dan murah. Bahkan performasinya diklaim sama dengan baterai kebanyakan.

"Kami pikir penemuan ini sangat ramah lingkungan, solusi hemat energi untuk baterai masa depan," kata Daniel Brandell, Dosen Senior di Departemen Kimia, Universitas Uppsala, yang juga merupakan salah seorang peneliti yang terlibat dalam proyek ini.

Bahan-bahan seperti getah pohon pinus dan benih jerami disebut dapat didaur ulang dan tidak mengandung bahan kimia berbahaya, begitu juga etanol dan air. Sementara baterai lithium ion konvensional mengandung bahan kimia yang sulit didaur ulang dan memiliki bahan kimia yang beracun.

Brandell dan timnya juga menemukan bahwa ekstrak lithium yang diambil dari sebuah baterai bekas dapat digunakan untuk baterai baru, bila dicampur dengan bahan biomaterial.

"Penggunaan bahan organik dari sumber energi yang terbarukan dapat memecahkan beberapa masalah yang akan timbul dari besarnya angka penggunaan baterai lithium. Pengembangan proyek ini merupakan langkah besar, sederhana, dan ramah lingkungan," tambah Brandell.

Namun sayang, belum ada informasi kapan teknologi baterai ini akan diperkenalkan dan bisa digunakan secara luas.


Jumat, 10 Oktober 2014

Turbin Terbang, Solusi Krisis Energi dari Google

Jika berada di ketinggian, turbin bisa menangkap energi lebih besar.


Turbin angin yang selama ini dikeluhkan karena membutuhkan lahan luas bisa disiasati dengan menggunakan turbin terbang. Ini merupakan usul aneh dan menantang dari Google.

Usulan Google ini memang menarik meskipun cara yang dibutuhkan belum bisa dibayangkan. Yang jelas, Google mengaku bisa membuat turbin angin mengalirkan energi besar meski berada 300 meter dari permukaan bumi.

Turbin angin merupakan energi andalan bagi beberapa negara, termasuk Inggris dan Belanda. Namun jumlahnya yang banyak juga membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Energi yang dihasilkan pun akan sangat bergantung pada banyaknya jumlah turbin yang digunakan.

Namun Google yakin hal itu bisa diatasi dengan menempatkan turbin di atas bumi, seolah-olah terbang. Turbin itu akan dilengkapi dengan sayap dan bisa melayang dalam ketinggian yang ekstrem sehingga bisa menangkap angin lebih banyak untuk energi yang lebih besar.

"Turbin bersayap ini bisa meningkatkan jumlah energi yang diproduksi dan menghemat biaya konstruksi yang dibutuhkan. Turbin ini bisa menjadi salah satu solusi krisis energi dunia," ujar Direktur Pemasaran Google di Inggris, Peter Fitzgerald, seperti dikutip Telegraph, Jumat, 10 Oktober 2014.

Menurut Fitzgerald, hal itu sangat mungkin dilakukan karena turbin itu akan ditambatkan, memiliki sayap juga dan bisa terbang dalam ketinggian. Yang paling penting, kata dia, adalah energi yang dihasilkan.

"Turbin biasa membutuhkan banyak biaya untuk pembangunannya, terutama baja yang digunakan. Apalagi, wilayah yang memiliki banyak angin diperkirakan hanya sekitar 15 persen dari total wilayah di dunia. Dengan turbin sayap, semua bisa dipecahkan," kata Fitzgerald.

Fitzgerald memastikan jika departemen Google X sedang melakukan pengembangan atas teknologi ini. Proyek turbin sayap ini memang cukup aneh, sama seperti proyek Loom yang saat ini sedang dikembangkan Google X.

Dalam proyek Loom, Google ingin menjangkau wilayah pedalaman yang belum tersentuh internet. Nantinya, sinyal internet yang menyelimuti wilayah pedalaman tersebut akan disebar menggunakan balon yang terbang di ketinggian. 

Selain kedua proyek itu, Google X juga sedang mengembangkan Lensa yang terkoneksi. Teknologi itu memungkinkan perangkat dilengkapi teknologi mikro yang bisa menganalisa tingkat glukosa melalui air mata dan bisa menangkal diabetes.

Ilmuwan Hasilkan Oksigen Tanpa Melibatkan Tumbuhan

Karbon dioksida dipecah oleh laser menjadi monoksida dan oksigen.


Tumbuhan adalah penghasil oksigen. Mungkinkah, jika oksigen dibuat tanpa melibatkan tumbuhan? Peneliti asal Amerika mengklaim telah menemukan cara menghasilkan oksigen tanpa berasal dari tumbuhan.

Zhou Lu, seorang Peneliti yang berasal dari University of California Davis mengklaim telah menemukan unsur oksigen. Menurut Zhou, dilansir Nature World News, Senin 6 Oktober 2014, laser vakum ultraviolet (VUV) yang mempunyai energi tinggi dapat merangsang karbon dioksida untuk terbagi menjadi karbon monoksida dan oksigen.

Zhou menambahkan bahwa awal terbentuknya bumi yang diselimuti dengan karbon dioksida, seperti yang saat ini ditemukan di planet Mars dan Venus, menjadi penanda yang cocok untuk dihuni di masa depan.

"Hasil yang kami temukan menunjukkan bahwa CO2 dapat dibentuk dari karbon dioksida yang ada dibumi melalui serangkaian proses. Proses yang sama pun memungkinkan untuk diterapkan pada atmosfer karbon dioksida yang merupakan dominasi pada planet Mars dan Venus," jelas dia.

Namun, penemuan yang dilakukan oleh Zhou tersebut masih tergolong kecil. Sebab, karbon dioksida yang dikonversi menjadi oksigen melalui laser khusus tersebut baru sekitar lima persen dari total molekul yang terkena. Alhasil, butuh jutaan tahun untuk memproduksi oksigen dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup.

Meskipun demikian, ia berharap dengan hasil penelitian yang dilakukannya ini akan menjadi jawaban dari pemahaman atmosfer bumi, serta planet lainnya. Selain itu, dikutip Tech Times, Zhou berharap ada satu langkah yang memungkinkan manusia memproses dan mengkonversikan karbon dioksida menjadi oksigen dengan produksi yang cukup tinggi dibandingkan penemuannya sekarang.

Keberhasilan penemuan yang diteliti Zhou selama 14 tahun ini dilakukan di dalam laboratorium dan telah diterbitkan ke dalam jurnal Science.\


Sumber : viva.co.id

Di Masa Depan, Botol Air Minum Bisa Dimakan

Materinya bukan dari plastik, tetapi membran gelatin.


Tempat air minum, kini benar-benar dapat didaur ulang. Lebih tepatnya bisa dimakan, sehingga tidak memenuhi tempat sampah. Gelatin membuat hal itu menjadi mungkin.

Sebuah kantong air telah dikembangkan untuk menggantikan fungsi plastik. Ini merupakan ide yang dianggap cukup radikal dan bisa mengubah dunia.

Produk ini bernama Ooho!, terdiri dari lapisan ganda membran gelatin. Ooho! dibuat dengan menggunakan ganggang cokelat dan kalsium klorida. Tidak seperti botol plastik konvensional, Ooho! bisa dimakan. Bisa juga dibuang, tetapi tidak menimbulkan sampah baru, karena bisa langsung terurai.

Bentuknya mirip plastik, tetapi tampilannya lebih mirip ubur-ubur, atau payudara implan. Global Design Forum di Inggris memberikan penghargaan terkait desain OOho! dalam bagian London Design Festival.

Ooho! diciptakan oleh Rodrigo Garcia Gonzalez, seorang mahasiswa pascasarjana dari Royal College of Art, Imperial College of London.

"Desain ini sebenarnya mencontoh membran alami, seperti lapisan telur. Saya ciptakan menggunakan teknik bernama Spherification," kata Gonzalez.

Untuk membuatnya bisa dikomersilkan ke pasaran, produk ini membutuhkan banyak peningkatan di sana sini. Mereka harus membuat membran itu lebih kuat agar aman untuk dibawa kemana saja. Mereka juga harus mencari cara agar membran itu bisa dibuka dan ditutup berkali-kali.

Menurut GDF, Ooho! merupakan satu dari lima ide yang akan membawa perubahan di dunia. Beberapa desain lainnya seperti lantai keramik yang bisa mengumpulkan energi dari langkah kaki orang, atau aplikasi ponsel yang bisa mengecek kesehatan mata.


Sumber : viva.co.id